Selamat Datang di blog KUA Kecamatan Moyudan Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta

8.12.12

Keharmonisan Suami Istri, Justru karena Mereka Berbeda

dakwatuna.com - Keluarga harmonis adalah dambaan semua orang. Siapapun yang menikah dan membentuk bahtera rumah tangga, berharap akan bisa memiliki keluarga yang harmonis. Namun banyak orang memahami makna harmonis secara berlebihan, sehingga seakan-akan tidak mentolerir adanya perbedaan, pertengkaran, dan konflik antara suami istri sama sekali. Keluarga harmonis dipahami sebagai keluarga yang tanpa perbedaan dan tanpa pertengkaran.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata harmonis memiliki makna pernyataan rasa, aksi, gagasan, dan minat; keselarasan; keserasian. Dalam konteks keluarga, kata harmonis dekat dengan makna keselarasan dan keserasian antara suami, istri dan seluruh anggota keluarga. Selaras dan serasi, menunjukkan suatu kesamaan tujuan dan cita-cita, walaupun kondisinya tidak selalu sama. Mungkin saja ada hal yang berbeda, namun perbedaan terbingkai dalam keselarasan dan keserasian.
Kapan kita mengatakan pakaian yang dikenakan seseorang sebagai serasi? Apakah karena warnanya sama? Seorang lelaki muda mengenakan sepatu, celana panjang, hem, dasi, jas dan topi dengan warna yang sama. Warna hitam semua, atau merah semua, atau putih semua, itukah serasi?
Bahkan Anda akan sulit menilai penampilan lelaki muda tersebut, apabila semua yang dikenakan memiliki warna yang sama. Justru penampilan dikatakan serasi apabila ada perbedaan, namun beda yang serasi. Misalnya ia mengenakan sepatu berwarna hitam, kaus kaki abu-abu, celana panjang hitam, kemeja warna putih, jas hitam, dasi merah tua, dan peci berwarna hitam. Ada banyak warna yang dikenakan, namun justru itu yang membentuk makna serasi.
Perbedaan Adalah Unsur Keserasian
Karena salah satu makna keharmonisan adalah keserasian, maka perbedaan justru menjadi salah satu unsur terpenting di dalamnya. Jangan berharap suami dan istri akan sama dalam semua hal, karena sejak dari awalnya memang tidak sama. Kesamaan mereka terjadi dalam hal yang prinsip, seperti kesamaan visi keluarga, kesamaan tujuan berkeluarga, kesamaan keyakinan hidup. Namun dalam berbagai sisi praktis, suami dan istri tidak perlu sama.
Dalam konferensi tahunan British Psychological Society 2012, di antara tema yang menjadi pembahasan adalah perbedaan fisiologis dan biologis laki-laki dan perempuan. Para ahli mengupas beberapa perbedaan dalam kemampuan kognitif, misalnya, laki-laki memiliki keterampilan kesadaran spasial lebih baik. Sedangkan perempuan memiliki daya ingat yang lebih kuat untuk benda-benda, serta kefasihan dalam lisan.
Profesor psikologi Diane Halpern dari Claremont McKenna College di California, Amerika Serikat berharap bisa memperbaiki pengetahuan tahun 1980-an, yang menyatakan bahwa otak laki-laki dan perempuan hampir identik. “Kita memang melakukan sosialisasi pada anak laki-laki dan perempuan dengan cara yang berbeda. Namun kontribusi biologi yang ada bukanlah nol,” katanya.
Beberapa perbedaan utama antara laki-laki dan perempuan yang diyakini adalah biologis dalam sifat alami. Termasuk, pria yang memiliki kemampuan kuat untuk memikirkan obyek dalam bentuk 3D yang membantu mereka menavigasi. Bahkan perbedaan ini telah terlihat dalam hasil studi yang melibatkan bayi berusia tiga bulan. Perempuan ‘lebih baik dalam mengingat letak benda-benda’ dan lebih bisa menavigasi melalui landmark dibanding sifat umum navigasi laki-laki yang berupa arah.
Ada pula pertanyaan menggelitik, “Mengapa 90% dari manajer perusahaan adalah laki-laki, dan 90% dari sekretaris yang ada di perusahaan adalah perempuan?” Ini dianggap sebagai perbedaan umum antara laki-laki dan perempuan dalam beberapa segi kemampuan yang spesifik. Justru dengan adanya berbagai perbedaan kemampuan tersebut, laki-laki dan perempuan bisa saling melengkapi, saling mengisi, saling memberi dan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya.
Tidak ada superioritas, bahwa lelaki lebih baik dan lebih unggul dari perempuan, atau perempuan lebih baik dan lebih unggul dari lelaki. Yang terjadi adalah, lelaki dan perempuan memiliki sisi-sisi kelebihan dan keunggulan, namun pada saat yang sama memiliki sisi kelemahan dan kekurangan. Untuk itulah, dalam sebuah keluarga mereka bisa saling menguatkan sisi kekurangan, dan bisa saling berbagi pada sisi kelebihan. Itulah makna serasi, sebuah perbedaan yang menimbulkan harmonis, saling memerlukan, saling mengisi dan melengkapi antara suami dan istri.
Saling Memahami
Yang menjadi tuntutan dalam kehidupan keluarga adalah saling memahami adanya hal yang berbeda tersebut. Suami dan istri harus membuka ruang penerimaan, pemahaman dan toleransi yang tinggi dalam jiwa mereka, akan hadirnya realitas perbedaan umum yang tidak bisa dihindarkan. Istri yang sangat suka ungkapan verbal, dan suami yang kurang suka ungkapan verbal. Istri yang banyak menggunakan potensi perasaan dalam memandang suatu kejadian, sementara suami lebih banyak menggunakan potensi akal.
Jika perbedaan tersebut dipahami dan diparesiasi secara tepat, tidak akan memunculkan konflik atau pertengkaran yang tidak perlu. Pertengkaran terjadi antara suami dan istri, karena ada banyak hal berbeda yang ada dalam diri mereka. Jika masing-masing tidak mampu memahami realitas perbedaan ini, yang terjadi adalah peruncingan konflik yang mengarah kepada disharmoni. Boleh saja sesekali waktu bertengkar dan ada konflik, namun harus segera diredam dan diatasi dengan saling pengertian dan saling memahami antara suami dan istri.
Rasakanlah keharmonisan, justru karena suami dan istri memiliki banyak perbedaan. Jika semua hal sama, lalu di mana letak kenikmatan hidup berkeluarga?

Menikah Itu untuk Selamanya

dakwatuna.com - Meningkatnya angka perceraian di Indonesia beberapa tahun terakhir merupakan fakta yang sangat memprihatinkan. Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 %. Tingkat perceraian sejak 2005 terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya. Pada tahun 2010 saja, terjadi 285.184 perceraian di seluruh Indonesia.
Jika memperhatikan hasil penelitian Mark Cammack, guru besar dari Southwestern School of Law-Los Angeles, USA, sesungguhnya ada fluktuasi angka perceraian di Indonesia. Berdasarkan penelitian Cammack, pada tahun 1950-an angka perceraian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tergolong yang paling tinggi di dunia.
Pada dekade itu, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya berakhir dengan perceraian. Tetapi pada tahun 1970-an hingga 1990-an, tingkat perceraian di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara menurun drastis, padahal di belahan dunia lainnya justru meningkat. Angka perceraian di Indonesia meningkat kembali secara signifikan sejak tahun 2001 hingga 2012 ini.
Kuliah Pernikahan
Untuk menduduki jabatan direktur di suatu perusahaan, seseorang harus menempuh masa pendidikan yang panjang. Dia harus memiliki ijazah tertentu, dengan kompetensi tertentu, dengan ujian tertentu. Setelah dinyatakan memenuhi persyaratan, barulah seseorang dilantik menjadi direktur perusahaan. Namun untuk menjadi direktur keluarga, ternyata tidak disertai dengan masa pendidikan yang memadai.
Sangat banyak hal yang harus dipelajari tentang pernikahan dan keluarga. Seandainya dibuat dalam satuan mata kuliah, sudah bisa menjadi satu fakultas tersendiri di sebuah universitas. Namanya Fakultas Pernikahan. Seluruh kurikulum berisi seluk beluk pernikahan, keluarga, perceraian, dan segala hal yang berhubungan dengannya. Rujukan bukunya sudah sangat banyak beredar di pasaran.
Semestinyalah semua orang yang akan menikah, telah melalui masa kuliah pernikahan, sehingga mengerti berbagai ilmu yang diperlukan untuk membentuk keluarga yang harmonis, sejahtera, produktif dan bahagia. Ketika menikah tanpa berbekal pengetahuan dan pemahaman yang mencukupi, sangat banyak ditemukan fenomena penyimpangan dalam keluarga dalam berbagai bentuknya. Ujungnya adalah kegagalan berumah tangga, perceraian.
Kuliah menjelang pernikahan bisa diselenggarakan oleh Kantor Urusan Agama, atau oleh BKKBN, atau oleh pihak masjid / gereja, atau oleh tokoh agama, atau oleh pihak LSM yang berkompeten. Tujuannya adalah memberikan pembekalan dasar-dasar dan keterampilan membina rumah tangga. Durasi waktu yang diperlukan sangat fleksibel, sesuai situasi dan kondisi. Namun esensi pembekalan ini yang lebih penting untuk diupayakan. Teknisnya juga bisa sangat variatif.
Menikah Itu Untuk Selamanya
Pernikahan tidak boleh diniatkan untuk jangka waktu tertentu. Saat melaksanakan akad nikah, tidak boleh terbesit ada pikiran untuk membatasi usia pernikahan dalam suatu rentang waktu. Pernikahan tidak boleh bermotivasi coba-coba, atau eksperimen, atau semacam itu.
“Sekarang yang penting nikah dulu, besok kalau tidak cocok ya cerai saja”.
“Sekarang dicoba dulu, kalau bahagia diteruskan, kalau tidak bahagia cerai saja”.
Jangan pernah berpikir untuk bercerai. Jangan ada kalimat “kalau nanti tidak cocok”. Nikah itu diniatkan seumur hidup, selamanya. Bukan suatu eksperimen atau percobaan. Oleh karena itu, dalam menempuh proses dari awalnya, harus disertai kelurusan dan kekuatan motivasi. Pernikahan adalah sebuah gerbang kehidupan, yang akan menentukan corak atau warna seseorang dalam waktu yang lama. Kebaikan atau keburukan seseorang, bermula dari kondisi keluarga.
Pernikahan adalah ibadah. Di dalamnya kita tengah menunaikan ketentuan-ketentuan agama yang sakral. Berhubungan suami istri saja, dinilai sebagai ibadah. Maka ada adab atau etika yang menyertai prosesi hubungan suami istri. Kenikmatan yang bisa didapatkan dari hubungan seksual adalah bagian dari rasa kesyukuran kepada kemurahan Tuhan. Karena ada dimensi ketuhanan yang sangat kuat dalam keluarga, tidak layak menjadikan pernikahan sebagai permainan atau coba-coba.
Menghadapi Keguncangan Rumah Tangga
Tidak ada keluarga yang tanpa masalah. Semua keluarga pasti memiliki sejumlah permasalahan. Namun keguncangan dalam rumah tangga sesungguhnya bisa diselesaikan. Berbagai persoalan, konflik, ketidakcocokan dan lain sebagainya, harus bisa dihadapi dengan sepenuh kesiapan jiwa. Suami dan istri harus berada dalam posisi yang sama setiap kali bertemu persoalan kerumahtanggaan.
“Ini masalah kamu, bukan masalahku”.
“Kamu yang bermasalah, bukan aku”.
Kalimat-kalimat tersebut sangat arogan dan akan semakin memperuncing permasalahan. Semestinya suami dan istri saling mendekat, dan bersama-sama mengupayakan jalan keluar dari setiap masalah yang datang. Tidak bersikap saling menyalahkan, tidak bersikap saling melempar kesalahan. Namun memahaminya sebagai persoalan bersama.
“Ini masalah kita berdua. Ayo kita selesaikan bersama”.
Kalimat itu lebih positif dan menyejukkan jiwa. Suami dan istri harus mampu melampaui setiap persoalan yang datang menghadang, karena memang tidak bisa dihindarkan. Yang bisa kita lakukan adalah menghadapinya dengan pikiran jernih, hati bening, jiwa terbuka, sehingga semua masalah mampu kita jadikan sarana menguatkan rasa cinta dalam keluarga.

24.11.12

Seleksi Tilawatil Qur'an Kabupaten Sleman 2012

Seleksi Tilawatil Qur'an (STQ) Kabupaten Sleman 2012 dilaksanakan pada Rabu, 21 Nopember 2012. Pembukaan STQ bertempat di Gedung Serba Guna Kabupaten Sleman. Peserta dari Kecamatan Moyudan yaitu Aswad Nur Brahim (Cabang Tilawah Dewasa Putra), Faiq Akmal Labib (Cabang Tilawah Anak Putra).


 




 


Wakil Bupati Sleman Hj. Yuni Satia Rahayu, S.S, M.Hum. memberikan sambutan pada pembukaan STQ Tingkat Kabupaten Sleman 2012



Wakil Bupati Sleman Hj. Yuni Satia Rahayu, S.S, M.Hum. membuka STQ Tingkat Kabupaten Sleman 2012

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY Drs. H. Maskul Haji, M.Pd.I. memberikan sambutan pada acara STQ Tingkat Kabupaten Sleman 2012


Hj. Silvia Rosetti, SE, MSI sedang membacakan anggota Dewan Hakim STQ












Aswad Nur Brahim (Cabang Tilawah Dewasa Putra)
Aswad Nur Brahim (Cabang Tilawah Dewasa Putra)

Konsolidasi BAZ


Konsolidasi BAZ Kecamatan Moyudan yang dilaksanakan pada Selasa, 20 Nopember 2012 di KUA Kecamatan Moyudan











15.11.12

SILATURRAHIM DAN PEMBINAAN

Silaturrahim dan pembinaan kepada Penyuluh Agama Honorer dan P3N dilaksanakan hari Rabu 14 Nopember 2012 di KUA Kecamatan Moyudan. Pembinaan diisi oleh Kepala KUA Kecamatan Moyudan yaitu Bapak Haryadi Ibrahim, S.Ag.








22.10.12

Bentuk Nikah yang Terlarang (4)

Karena saking cinta di antara dua pasangan ketika tidak disetujui ortu, akhirnya kawin lari jadi pilihan. Ada orang yang asal copot diangkat sebagai wali, dan akhirnya mereka menikah. Padahal hakekatnya nikah seperti ini bermasalah. Inilah yang akan diterangkan selanjutnya dalam sebagian bahasan kali ini. Kelima: Nikah dengan Mantan Isteri yang Sudah Ditalak Tiga Nikah seperti ini terlarang. Mantan isteri yang telah ditalak tiga tidak bisa dinikahi lagi oleh suaminya yang dulu sampai ia menikah dengan pria yang lain dan bercerai dengan cara yang wajar (bukan akal-akalan). Allah Ta’ala berfirman, فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 230) Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama, maka ketententuannya adalah keduanya harus sudah bercampur (bersetubuh) kemudian terjadi perceraian, maka setelah ‘iddah ia boleh kembali kepada suaminya yang pertama. Dalil yang menunjukkan harus dicampuri adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِى إِلَى رِفَاعَةَ لاَ حَتَّى تَذُوقِى عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ “Apakah engkau ingin kembali pada Rifa’ah (suamimu yang pertama). Tidak boleh sampai engkau merasakan madunya dan ia pun merasakan madumu.” (HR. Bukhari no. 2639 dan Muslim no. 1433) Keenam: Kawin Lari Kawin lari yang dimaksud di sini bisa jadi berbagai macam pengertian. Bisa jadi, tanpa wali nikah, atau ada wali (tidak jelas) dan tidak ada izin dari wali sebenarnya. Ada juga kawin lari dengan kumpul kebo, tinggal satu atap tanpa status nikah. Boleh jadi ketika hamil mereka menjalin hubungan RT secara resmi. Yang kami bahas di sini adalah kawin lari, lalu menikah dengan wali yang tidak jelas (asal copot), jadi sama saja tidak memakai wali. Dan yang wajib ada wali adalah si wanita, bukan laki-laki. Padahal wali memiliki urutan yang ditetapkan oleh para ulama. Seperti ulama Syafi’iyah membuat urutan: Ayah Kakek Saudara laki-laki Anak saudara laki-laki (keponakan) Paman Anak saudara paman (sepupu) Dan pengertian wali wanita adalah kerabat laki-laki si wanita dari jalur ayahnya, bukan ibunya. Jika masih ada kerabat yang lebih dekat seperti ayahnya, maka tidak boleh kerabat yang jauh seperti paman menikahkan si wanita. Boleh saja jika si wali mewakilkan kepada orang lain (seperti si ayah kepada paman) sebagai wali si wanita. Dan ketika itu si wakil mendapat hak sebagaimana wali. Dan ingat, syarat wali adalah: (1) Islam, (2) laki-laki, (3) berakal, (4) baligh dan (5) merdeka (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 142-145). Dalil-dalil yang mendukung mesti adanya wali wanita dalam nikah. عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ بَاطِلٌ بَاطِلٌ فَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ Dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah batiil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan) عَنْ أَبِيْ مُوْسَى الأَشْعَرِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ Dari Abu Musa Al Asy’ari berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. (HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1880 dan Ahmad 4: 418. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ الَّتِى تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Ahmad Syakir) Imam Al Baghawi berkata, “Mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi dan sesudah mereka mengamalkan kandungan hadits “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. Hal ini merupakan pendapat Umar, ‘Ali, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Aisyah dan sebagainya. Ini pula pendapat Sa’id bin Musayyib, Hasan al-Bashri, Syuraih, Ibrahim An Nakha’I, Qotadah, Umar bin Abdul Aziz, dan sebagainya. Ini pula pendapat Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Abdullah bin Mubarak, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq” (Syarh Sunnah, 9: 40-41). Demikianlah sebagian pemuda, demi cinta sampai ingin mendapat murka Allah. Kawin lari sama saja dengan zina karena status nikahnya tidak sah. Sumber : http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/bentuk-nikah-yang-terlarang-4-kawin-lari.html

Bentuk Nikah yang Terlarang (3)

Salah satu bentuk nikah yang terlarang yang kita bahas kali ini adalah nikah di masa ‘iddah. Masa ‘iddah adalah masa menunggu bagi wanita karena beberapa sebab yang mengakibatkan ia tidak boleh menikah dulu sampai masa ‘iddah itu selesai. Silakan lihat bahasan berikut. Keempat: Nikah dalam Masa ‘Iddah Yang dimaksud ‘iddah adalah masa menunggu bagi wanita dengan tujuan untuk mengetahui kosongnya rahim, atau dilakukan dalam rangka ibadah, atau dalam rangka berkabung atas meninggalnya suami. Seorang wanita tidak boleh dinikahi pada masa ‘iddahnya. Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ “Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya.” (QS. Al Baqarah: 235). Imam Nawawi menyebutkan, “Tidak boleh menikahi wanita yang berada pada masa ‘iddah karena suatu sebab. … Salah satu tujuan masa ‘iddah adalah untuk menjaga nasab. Jika kita membolehkan nikah pada masa tersebut, tentu akan bercampurlah nasab dan tujuan nikah pun jadi sia-sia (karena kacaunya nasab).” (Al Majmu’, 16: 240) Apa saja masa ‘iddah bagi wanita? ‘Iddah itu ada tiga macam: ‘Iddah hitungan quru’ ‘Iddah hitungan bulan ‘Iddah wanita hamil 1. ‘Iddah hitungan quru’ ‘Iddah bagi wanita yang masih mengalami haidh (bukan monopause) dan diceraikan suaminya adalah dengan hitungan quru’. Allah Ta’ala berfirman, وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (QS. Al Baqarah: 228). Apa yang dimaksud tiga quru’? Mengenai makna quru’, di sini ada khilaf di antara para ulama. Ada yang menganggap quru’ adalah suci, berarti setelah tiga kali suci, barulah si wanita yang diceraikan boleh menikah lagi. Ada pula ulama yang menganggap quru’ adalah haidh. Contoh: Wanita ditalak tanggal 1 Ramadhan (01/09). Kapan masa ‘iddahnya jika memakai tiga kali haidh atau tiga kali suci? Coba perhatikan tabel berikut ini. 01/09 05/09 – 11/09 11/09 – 05/10 05/10 – 11/10 11/10 – 05/11 05/11 – 11/11 11/11 Talak ketika Suci Haidh Suci Haidh Suci Haidh Suci Jika yang menjadi patokan adalah tiga kali suci: masa ‘iddah dimulai dihitung ketika masa suci saat dijatuhkan talak dan berakhir pada tanggal 5/11 (5 Dzulqo’dah) saat muncul darah haidh ketiga. Di sini masa ‘iddah akan melewati dua kali haidh. Jika yang menjadi patokan adalah tiga kali haidh: masa ‘iddah dimulai dihitung dari haidh tanggal 5/9 (5 Ramadhan) dan berakhir pada tanggal 11/11 (11 Dzulqo’dah) setelah haidh ketiga selesai secara sempurna. Di sini masa ‘iddah akan melewati tiga kali haidh secara sempurna. Jika kita perhatikan, hitungan dengan tiga kali haidh ternyata lebih lama dari tiga kali suci. Manakah di antara dua pendapat di atas yang lebih kuat? Tiga kali suci ataukah tiga kali haidh? Pendapat yang lebih kuat setelah penelusuran dari dalil-dalil yang ada, yaitu makna tiga quru’ adalah tiga kali haidh. Pengertian quru’ dengan haidh telah disebutkan oleh lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Beliau berkata kepada wanita yang mengalami istihadhoh, إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ فَانْظُرِى إِذَا أَتَى قُرْؤُكِ فَلاَ تُصَلِّى فَإِذَا مَرَّ قُرْؤُكِ فَتَطَهَّرِى ثُمَّ صَلِّى مَا بَيْنَ الْقُرْءِ إِلَى الْقُرْءِ “Sesungguhnya darah (istihadhoh) adalah urat (yang luka). Lihatlah, jika datang quru’, janganlah shalat. Jika telah berlalu quru’, bersucilah kemudian shalatlah di antara masa quru’ dan quru’.” (HR. Abu Daud no. 280, An Nasai no. 211, Ibnu Majah no. 620, dan Ahmad 6: 420. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Yang dimaksud dalam hadits ini, makna quru’ adalah haidh. Pendapat ini dianut oleh kebanyakan ulama salaf seperti empat khulafaur rosyidin, Ibnu Mas’ud, sekelompok sahabat dan tabi’in, para ulama hadits, ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya. Imam Ahmad berkata, “Dahulu aku berpendapat bahwa quru’ bermakna suci. Saat ini aku berpendapat bahwa quru’ adalah haidh.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 29: 308) Kami tidak membawakan perselisihan ini lebih panjang. Itulah kesimpulan kami dari dalil-dalil yang kami pahami. Yang berpendapat seperti ini pula adalah guru kami –Syaikh Sholeh Al Fauzan- (Al Mulakhos Al Fiqhiyyah, 2: 426) dan penulis kitab Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 319-322). Catatan: Hitungan ‘iddah menggunakan kalender Hijriyah, bukan kalender Masehi. Talak yang syar’i jika dilakukan ketika: (1) suci dan (2) belum disetubuhi. 2. ‘Iddah hitungan bulan ‘Iddah dengan hitungan bulan ada pada dua keadaan: (1) masa ‘iddah dengan hitungan 3 bulan (hijriyah) yaitu bagi wanita yang ditalak sebagai ganti hitungan haidh, boleh jadi pada wanita monopause (yang sudah tidak mendapati haidh lagi) karena sudah beruzur, atau tidak mendapati haidh karena masih kecil, atau sudah mencapai usia haidh, namun belum juga mendapati haidh. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (QS. Ath Tholaq: 4). (2) masa ‘iddah selama 4 bulan 10 hari (kalender hijriyah), yaitu bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, baik sebelum disetubuhi ataukah sesudahnya, baik wanita yang dinikahi sudah haidh ataukah belum pernah haidh, namun dengan syarat wanita yang ditinggal mati bukanlah wanita hamil. Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُ‌ونَ أَزْوَاجًا يَتَرَ‌بَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْ‌بَعَةَ أَشْهُرٍ‌ وَعَشْرً‌ا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُ‌وفِ وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ‌ “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 234) Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا “Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491) 3. ‘Iddah wanita hamil Masa ‘iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan baik ‘iddahnya karena talak atau karena persetubuhan syubhat (seperti karena dihamili karena zina). Karena tujuan dari masa ‘iddah adalah untuk membuktikan kosongnya rahim, yaitu ditunggu sampai waktu lahir. Allah Ta’ala berfirman, أُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Tholaq: 4). Para ulama berselisih pendapat, bagaimana jika wanita yang ditinggal mati suami dalam keadaan hamil? Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa masa ‘iddahnya berakhir ketika ia melahirkan, baik masa tersebut lama atau hanya sebentar. Seandainya ia melahirkan 1 jam setelah meninggalnya suaminya, masa ‘iddahnya berakhir dan ia halal untuk menikah. Sumber : http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/bentuk-nikah-yang-terlarang-3.html

Bentuk Nikah yang Terlarang (2)

Di antara yang kita bahas saat ini adalah nikah mut’ah. Nikah mut’ah masih menjamur saat ini dan dianut oleh orang-orang Rafidhah (baca: Syi’ah). Begitu pula sebagian turis Arab ketika musim liburan, sengaja datang ke Bogor dan melakukan kawin kontrak selama 10 hari, sebulan atau dua bulan. Mengenai kawin kontrak akan dilanjutkan pada pembahasan kali ini. Ketiga: Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak) Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara (nikah muaqqot) atau nikah terputus (nikah munqothi’). Bentuk nikah ini adalah seseorang menikahi wanita pada waktu tertentu selama 10 hari, sebulan atau lebih dengan memberi biaya atau imbalan tertentu. Nikah mut’ah di awal-awal Islam dihukumi halal lalu dinaskh (dihapus). Nikah ini menjadi haram hingga hari kiamat. Demikianlah yang menjadi pegangan jumhur (mayoritas) sahabat, tabi’in dan para ulama madzhab (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 99). Dari Sabroh Al Juhaniy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata. أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ حِينَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ مِنْهَا حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا. “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk melakukan nikah mut’ah pada saat Fathul Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum kami meninggalkan Makkah, beliau pun telah melarang kami dari bentuk nikah tersebut.” (HR. Muslim no. 1406) Dalam riwayat lain dari Sabroh, ia berkata bahwa dia pernah ikut berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat penaklukan kota Mekkah. Ia berkata, فَأَقَمْنَا بِهَا خَمْسَ عَشْرَةَ – ثَلاَثِينَ بَيْنَ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ – فَأَذِنَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى مُتْعَةِ النِّسَاءِ … ثُمَّ اسْتَمْتَعْتُ مِنْهَا فَلَمْ أَخْرُجْ حَتَّى حَرَّمَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. “Kami menetap selama 15 hari (kira-kira antara 30 malam atau 30 hari). Awalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut’ah dengan wanita. … Kemudian aku melakukan nikah mut’ah (dengan seorang gadis). Sampai aku keluar Mekkah, turunlah pengharaman nikah mut’ah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim no. 1406) Dalam lafazh lain disebutkan, فَكُنَّ مَعَنَا ثَلاَثًا ثُمَّ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِفِرَاقِهِنَّ. “Wanita-wanita tersebut bersama kami selama tiga hari, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk berpisah dari mereka.” (HR. Muslim no. 1406) Dalam lafazh lainnya lagi dari Sabroh Al Juhaniy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِى الاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ “Wahai sekalian manusia. Awalnya aku mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah dengan para wanita. Sekarang, Allah telah mengharamkan (untuk melakukan mut’ah) hingga hari kiamat.” (HR. Muslim no. 1406) Riwayat di atas menunjukkan bahwa nikah mu’tah atau kawin kontrak adalah nikah yang fasid, tidak sah. Sehingga dari sini pasangan yang menikah dengan bentuk nikah semacam ini wajib dipisah. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk dipisah dalam hadits Sabroh di atas. Bagaimana jika tidak ada di perjanjian awal, namun hanya ada di niatan yaitu jika si pria kembali ke negerinya, ia akan mencerai istrinya? Hal ini beda dengan nikah mut’ah di awal. Yang kedua adalah nikah dengan niatan cerai, si istri awalnya tidak tahu dengan niatan ini. Menurut kebanyakan ulama, jika seseorang menikah dan tidak membuat syarat, namun dalam hati sudah diniatkan untuk bercerai pada waktu tertentu, nikahnya tetap sah. Alasannya, karena niatan seperti itu bisa saja terwujud, bisa saja tidak. Namun ulama lainnya menganggap nikah bentuk kedua ini masih termasuk nikah mut’ah seperti pendapat Al Auza’i dan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 101). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, فَأَمَّا أَنْ يَشْتَرِطَ التَّوْقِيتَ فَهَذَا ” نِكَاحُ الْمُتْعَةِ ” الَّذِي اتَّفَقَ الْأَئِمَّةُ الْأَرْبَعَةُ وَغَيْرُهُمْ عَلَى تَحْرِيمِهِ … وَأَمَّا إذَا نَوَى الزَّوْجُ الْأَجَلَ وَلَمْ يُظْهِرْهُ لِلْمَرْأَةِ : فَهَذَا فِيهِ نِزَاعٌ : يُرَخِّصُ فِيهِ أَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ وَيَكْرَهُهُ مَالِكٌ وَأَحْمَد وَغَيْرُهُمَا “Jika nikah tersebut ditetapkan syarat hanya sampai waktu tertentu, maka inilah yang disebut nikah mut’ah. Nikah semacam ini disepakati haramnya oleh empat imam madzhab dan selainnya. … Adapun jika si pria berniat nikah sampai waktu tertentu dan tidak diberitahukan di awal pada si wanita (nikah dengan niatan cerai, pen), status nikah semacam ini masih diperselisihkan oleh para ulama. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i memberikan keringanan pada nikah semacam ini. Sedangkan Imam Malik, Imam Ahmad dan selainnya melarang (memakruhkan)-nya.” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 107-108) Dinukil dari Imam Nawawi, قَالَ الْقَاضِي : وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ نَكَحَ نِكَاحًا مُطْلَقًا وَنِيَّته أَلَّا يَمْكُث مَعَهَا إِلَّا مُدَّة نَوَاهَا فَنِكَاحه صَحِيح حَلَال ، وَلَيْسَ نِكَاح مُتْعَة ، وَإِنَّمَا نِكَاح الْمُتْعَة مَا وَقَعَ بِالشَّرْطِ الْمَذْكُور ، وَلَكِنْ قَالَ مَالِك : لَيْسَ هَذَا مِنْ أَخْلَاق النَّاس ، وَشَذَّ الْأَوْزَاعِيُّ فَقَالَ : هُوَ نِكَاح مُتْعَة ، وَلَا خَيْر فِيهِ Al Qodhi Husain berkata, “Para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang menikah dan niatnya hanya tinggal bersama si wanita selama waktu tertentu (nikah dengan niatan cerai, pen), nikah yang dilakukan sah dan halal. Nikah semacam ini tidak termasuk nikah mut’ah. Disebut nikah mut’ah jika ada persyaratan di awal. Namun Imam Malik mengatakan, “Melakukan nikah dengan niatan cerai bukanlah tanda orang yang memiliki akhlak yang baik.” Al Auza’i sedikit berbeda dalam hal ini, beliau berkata, “Nikah semacam itu tetap termasuk nikah mut’ah dan tidak ada kebaikan sama sekali.” (Syarh Muslim, 9: 182) Demikian sajian singkat mengenai kawin kontrak. Dari sini kita dapat simpulkan haramnya nikah semacam itu, walau dilakukan oleh turis Arab sekalipun. Kalau orang Arab salah, maka kita katakan salah. Karena yang melakukan nikah semacam ini sengaja melegalkan zina, namun dikelabui dengan merubah nama. Jika diselidiki lebih jauh tentang kelakukan turis Arab di Bogor, ternyata para wanita yang kawin kontrak tidak jauh dari para WTS. Nikahnya pun dilakukan tanpa izin wali atau dengan wali yang asal comot. Pak Naib yang biasa memandu mengucapkan akad nikah tidak tahu pula asal-usulnya. Yang jelas -setahu kami-, kawin kontrak di negeri kita termasuk dalam tindakan pidana. Namun begitulah karena fulus, kawin kontrak masih tetap terus menjamur. Sumber : http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/bentuk-nikah-yang-terlarang-2-nikah-mutah.html

Bentuk Nikah yang Terlarang (1)

Nikah adalah suatu jenjang yang amat sakral, sebagai jalan untuk mencari yang halal dari yang sebelumnya terlarang. Namun nikah dengan seorang wanita tidak bisa asal-asalan. Ada syarat yang mesti dipenuhi seperti mesti adanya wali dan mahar. Begitu pula ada bentuk nikah yang terlarang dan membuat akadnya menjadi tidak sah yang sudah sepatutnya kita jauhi. Bentuk nikah seperti apa sajakah itu? Simak dalam tulisan sederhana berikut. Pertama: Nikah Syighor Bentuk nikah syighor adalah si A menikahkan anak, saudara atau yang berada di bawah perwaliannya pada si B, namun dengan syarat si B harus menikahkan pula anak, saudara atau yang di bawah perwaliannya pada si A. Bentuk nikah syighor terserah terdapat mahar ataukah tidak. Keharaman bentuk nikah seperti ini telah disepakati oleh para ulama (baca: ijma’), namun mereka berselisih apakah nikahnya sah ataukah tidak. Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah seperti ini tidaklah sah. Alasan jumhur adalah dalil-dalil berikut ini. Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata, نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الشِّغَارِ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang nikah syighor.” (HR. Muslim no. 1417) Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنِ الشِّغَارِ ، وَالشِّغَارُ أَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ الآخَرُ ابْنَتَهُ ، لَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ “Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang nikah syighor yang bentuknya: seseorang menikahkan anaknya pada orang lain namun ia memberi syarat pada orang tersebut untuk menikahkan anaknya untuknya dan di antara keduanya tidak ada mahar.” (HR. Bukhari no. 5112 dan Muslim no. 1415) Dari Abu Hurairah, ia berkata, نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الشِّغَارِ. زَادَ ابْنُ نُمَيْرٍ وَالشِّغَارُ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ زَوِّجْنِى ابْنَتَكَ وَأُزَوِّجُكَ ابْنَتِى أَوْ زَوِّجْنِى أُخْتَكَ وَأُزَوِّجُكَ أُخْتِى “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bentuk nikah syighor.” Ibnu Numair menambahkan, “Bentuk nikah syighor adalah seseorang mengatakan pada orang lain: ‘Nikahkanlah putrimu padaku dan aku akan menikahkan putriku padamu, atau nikahkanlah saudara perempuanmu padaku dan aku akan menikahkan saudara perempuanku padamu’.” (HR. Muslim no. 1416) Dari ‘Abdurrahman bin Hurmuz Al A’roj, ia berkata, أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْعَبَّاسِ أَنْكَحَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الْحَكَمِ ابْنَتَهُ وَأَنْكَحَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ ابْنَتَهُ وَكَانَا جَعَلاَ صَدَاقًا فَكَتَبَ مُعَاوِيَةُ إِلَى مَرْوَانَ يَأْمُرُهُ بِالتَّفْرِيقِ بَيْنَهُمَا وَقَالَ فِى كِتَابِهِ هَذَا الشِّغَارُ الَّذِى نَهَى عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- “Al ‘Abbas bin ‘Abdillah bin Al ‘Abbas menikahkan puterinya dengan ‘Abdurrahman bin Al Hakam, lalu ‘Abdurrahman menikahkan puterinya dengan Al ‘Abbas dan ketika itu terdapat mahar. Lantas Mu’awiyah menulis surat dan dikirim pada Marwan. Mu’awiyah memerintahkan Marwan untuk memisahkan antara dua pasangan tadi. Mu’awiyah berkata dalam suratnya, “Ini termasuk bentuk nikah syighor yang telah dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Abu Daud no. 2075 dan Ahmad 4: 94. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan) Bentuk nikah syighor dinilai terlarang karena telah menetapkan syarat yang melanggar ketentuan Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا بَالُ أُنَاسٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِى كِتَابِ اللَّهِ مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ وَإِنْ شَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ شَرْطُ اللَّهِ أَحَقُّ وَأَوْثَقُ “Kenapa orang-orang memberi persyaratan-persyaratan yang tidak diperbolehkan dalam kitab Allah? Persyaratan apa saja yang tidak diperbolehkan dalam kitab Allah merupakan persyaratan yang batil, meskipun seratus persyratan. Ketetapan Allah lebih berhak untuk ditunaikan, dan persyaratan Allah lebih kuat untuk diikuti.” (HR. Bukhari no. 2155 dan Muslim no. 1504) Kedua: Nikah Muhallil Kita telah ketahui bahwa maksimal talak adalah sampai talak ketiga. Dua talak sebelumnya, masih bisa ada rujuk. Jika suami telah mentalak istri sampai tiga kali, maka ia tidak bisa rujuk kembali sampai si istri nikah dengan pria lain dan cerai lagi dengan cara yang tidak diakal-akali. Nikah muhallil yang dimaksud di sini adalah seseorang menikah wanita yang telah ditalak tiga, kemudian ia mentalaknya dengan tujuan supaya wanita ini menjadi halal bagi suami yang pertama. Nikah semacam ini terlarang, bahkan termasuk al kabair (dosa besar). Pria kedua yang melakukan nikah muhallil terkena laknat sebagaimana pria pertama yang menyuruh menikahi mantan istrinya. Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu, ia berkata, لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil (laki-laki yang menikahi seorang wanita dengan tujuan agar perempuan itu dibolehkan menikah kembali dengan suaminya yang pertama) dan al muhallal lahu (laki-laki yang menyuruh muhallil untuk menikahi bekas isterinya agar isteri tersebut dibolehkan untuk dinikahinya lagi).” (HR. Abu Daud no. 2076 dan Ibnu Majah no. 1934. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِالتَّيْسِ الْمُسْتَعَارِ؟ قاَلُوْا: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: هُوَ الْمُحَلِّلُ، لَعَنَ اللهُ المُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ. “Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang taisil musta’aar (domba pejantan yang disewakan)?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau kemudian bersabda, “Ia adalah muhallil. Allah akan melaknat muhallil dan muhallal lahu.” (HR. Ibnu Majah no. 1936. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan) Dari ‘Umar bin Nafi’ dari bapaknya, bahwasanya ia berkata, جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ فَسَأَلَهُ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلاَثًا، فَتَزَوَّجَهَا أَخٌ لَهُ مِنْ غَيْرِ مُؤَامَرَةٍ مِنْهُ لِيَحِلَّهُ لأَخِيْهِ، هَلْ تَحِلُّ لِلأَوَّلِ؟ قَالَ: لاَ، إِلاَّ نِكَاحَ رَغْيَةٍ، كُنَّا نَعُدُّ هَذَا سَفَاحًا عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. “Telah datang seorang lelaki kepada Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dan menanyakan tentang seseorang yang telah menceraikan isterinya dengan talak tiga, kemudian saudara laki-lakinya menikahi wanita tersebut tanpa adanya persetujuan dengan suami pertama agar wanita tersebut halal kembali bagi saudaranya, maka apakah wanita tersebut halal dinikahi kembali oleh suaminya yang pertama?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali nikah yang didasari rasa suka, kami menganggap hal tersebut adalah suatu hal yang keji pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Al Hakim dalam Mustadroknya 2: 217. Hakim berkata bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim. Adz Dzahabi pun menyatakan demikian) Nikah muhallil dinilai terlarang dan nikahnya tidak sah, terserah apakah dipersyaratkan di awal bahwa si wanita akan dicerai supaya halal bagi suami pertama ataukah tidak disyaratkan tetapi hanya diniatkan. Masih ada beberapa bahasan lainnya mengenai bentuk nikah yang terlarang yang akan dibahas pada edisi selanjutnya. Di antara pembahasan selanjutnya adalah mengenai nikah mut’ah. Semoga Allah memberi kemudahan. Sumber : http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/bentuk-nikah-yang-terlarang-1.html

17.9.12

Pelatihan Perawatan Jenazah

Pelatihan Perawatan Jenazah di Bina Keluarga Lansia (BKL) Mekarsari Menulis Sumbersari pada tanggal 17 September 2012. Pelatihan Perawatan Jenazah ini dijelaskan oleh Penyuluh Agama Islam Fungsional Kecamatan Moyudan Bapak H. Ridwan, BA  dan dibantu Tri Wiyoko.












16.9.12

KUA Kecamatan se-DIY

1 KUA Kec. Tegalrejo Jl. Tompeyan 200.A, Tegalrejo, Yogyakarta (0274) 586391
2 KUA Kec. Jetis Jl. Cokrokusuman Baru JT II/786 Yogyakarta (0274) 515531
3 KUA Kec. Gondokusuman Jl. Balapan No. 29 Yogyakarta (0274) 519601
4 KUA Kec. Danurejan Komplek Masjid Lempuyangan, Yogyakarta (0274) 543857
5 KUA Kec. Gedongtengen Jl. Jlagran Lor No. 52 Yogyakarta (0274) 515109
6 KUA Kec. Mantrijeron Suryodiningratan MJ II/860 Yogyakarta (0274) 370158
7 KUA Kec. Ngampilan Jl. KH. Wahid Hasyim No. 08 Yogyakarta (0274) 370254
8 KUA Kec. Wirobrajan Jl. Tegalmulyo No. 23 Yogyakarta (0274) 619177
9 KUA Kec. Kraton Jl. Wijilan No. 14 Yogyakarta (0274) 377811
10 KUA Kec. Gondomanan Komplek Masjid Besar Kauman Yogyakarta (0274) 381847
11 KUA Kec. Pakualaman Notowinatan PA II/437 Yogyakarta (0274) 516887
12 KUA Kec. Mergangsan Jl. Lowanu, Yogyakarta (0274) 415799
13 KUA Kec. Umbulharjo Jl. Glagahsari No. 99 Yogyakarta (0274) 375538
14 KUA Kec. Kotagede Jl. Wiji Adisoro No. 35 Yogyakarta (0274)7485339
15 KUA Kec. Bantul Jl. KH. Agus Salim No. 97 Bantul (0274) 7490112
16 KUA Kec. Kretek Jl. Tegalsari, Donotirto, Kretek, Bantul (0274) 368560
17 KUA Kec. Sanden Pucanganom, Murtigading, Sanden, Bantul (0274) 7491435
18 KUA Kec. Srandakan Pondok, Trimurti, Srandakan, Bantul (0274) 7100860
19 KUA Kec. Bambanglipuro Ganjuran, Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul (0274) 368071
20 KUA Kec. Pandak Kadek, Wijirejo, Pandak, Bantul (0274) 766033
21 KUA Kec. Pundong Piring, Srihardono, Pundong, Bantul (0274) 7488455
22 KUA Kec. Imogiri Pundung, Wukirsari, Imogiri, Bantul (0274) 6994064
23 KUA Kec. Banguntapan Jl. Karangturi 146, Baturetno, Banguntapan, Bantul (0274) 384019
24 KUA Kec. Jetis Komplek Kec. Jetis, Sumberagung, Bantul (0274) 7486356
25 KUA Kec. Dlingo Koripan I, Dlingo, Bantul (0274) 7484494
26 KUA Kec. Pajangan Kunden, Sendangsari, Pajangan, Bantul (0274) 7473458
27 KUA Kec. Sedayu Jl. Wates Km. 10 Karanglo, Sedayu, Bantul (0274) 7499163
28 KUA Kec. Kasihan Jl. Madukismo No. 260, Kasihan, Bantul (0274) 384083
29 KUA Kec. Sewon Jl. Parangtritis Km. 5,6 Sewon, Bantul (0274) 384018
30 KUA Kec. Pleret Keputren, Pleret, Bantul (0274) 449966
31 KUA Kec. Piyungan Srimartani, Piyungan, Bantul (0274) 7112517
32 KUA Kec. Wates Jl. Moch. Dawam, Dukuh, Driyan, Wates, Kulon Progo (0274) 774520
33 KUA Kec. Temon Jl. Wates-Purworejo Km. 10 Temon, Kulon Progo (0274) 7117524
34 KUA Kec. Panjatan Tayuban, Panjatan, Kulon Progo (0274) 7110195
35 KUA Kec. Galur Brosot, Galur, Kulon Progo (0274) 7103192
36 KUA Kec. Sentolo Sentolo Kidul, Sentolo, Kulon Progo (0274) 7104954
37 KUA Kec. Lendah Botokan, Jatirejo, Lendah, Kulon Progo (0274) 7490628
38 KUA Kec. Pengasih Jl. Purbowinoto No. 6 Pengasih, Kulon Progo (0274) 773164
39 KUA Kec. Kokap Tejogan, Hargorejo, Kokap, Kulon Progo (0274) 778505
40 KUA Kec. Nanggulan Jl. Sentolo-Klangon Km. 8 Nanggulan, Kulon Progo (0274) 7118787
41 KUA Kec. Girimulyo Karanganyar, Giripurwo, Girimulyo, Kulon Progo (0274) 7492562
42 KUA Kec. Samigaluh Gerbosari, Samigaluh, Kulon Progo (0274) 7483822
43 KUA Kec. Kalibawang Komplek Kantor Kec. Kalibawang, Kulon Progo (0274) 6867531
44 KUA Kec. Wonosari Jl. Ki Hajar Dewantara No. 32, Baleharjo, Wonosari, Gunungkidul (0274) 7487978
45 KUA Kec. Paliyan Tahunan, Karangduwet, Paliyan, Gunungkidul (0274) 7464812
46 KUA Kec. Panggang Jl. Telaga Gandu Panggang III, Giriharjo, Panggang, Gunungkidul (0274) 7464810
47 KUA Kec. Playen Jl. Pramuka, Playen, Gunungkidul (0274) 393220
48 KUA Kec. Patuk Jl. Yogya-Wonosari Km. 20 Patuk, Gunungkidul (0274) 7464813
49 KUA Kec. Nglipar Nglipar, Gunungkidul (0274) 7464815
50 KUA Kec. Karangmojo Srimpi, Karangmojo II, Gunungkidul (0274) 7464819
51 KUA Kec. Semin Jl. Semin-Wonosari No. 12 Semin, Gunungkidul (0274) 4390355
52 KUA Kec. Ponjong Sumber, Ponjong, Gunungkidul (0274) 7464820
53 KUA Kec. Semanu Ngebrak Barat, Semanu, Gunungkidul (0274) 7464821
54 KUA Kec. Tepus Sidaharjo, Tepus, Gunungkidul (0274) 7464823
55 KUA Kec. Rongkop Kerdonmiri No. 8 Karangwuni, Rongkop, Gunungkidul (0274) 7464824
56 KUA Kec. Ngawen Kampung Kidul, Ngawen, Gunungkidul (0274) 7464816
57 KUA Kec. Saptosari Jl. Wonosari-Panggang Km.22 Saptosari, Gunungkidul (0274) 7464811
58 KUA Kec. Gedangsari Hargomulyo, Gedangsari, Gunungkidul (0274) 7464814
59 KUA Kec. Girisubo Jl.Baran-Wediombo Km 10,3 Duwet, Girisubo, Gunungkidul (0274) 7464825
60 KUA Kec. Tanjungsari Guyangan, Kemiri, Tanjungsari, Gunungkidul (0274) 7464822
61 KUA Kec. Purwosari Jl.Panggang-Parangtritis Km 6,5 Tompak, Gunungkidul (0274) 7464809
62 KUA Kec. Sleman Srimulyo, Triharjo, Sleman (0274) 869470
63 KUA Kec. Tempel Tempel, Lumbungrejo, Tempel, Sleman -
64 KUA Kec. Turi Keringan, Wonokerto, Turi, Sleman (0274) 4461590
65 KUA Kec. Ngaglik Jl. Kaliurang Km. 9 Sinduharjo, Ngaglik, Sleman (0274) 384821
66 KUA Kec. Mlati Cebongan, Tlogoadi, Mlati, Sleman (0274) 7482770
67 KUA Kec. Pakem Jl. Kaliurang Km. 17,8 Pakembinangun, Sleman (0274) 896197
68 KUA Kec. Cangkringan Bronggang, Argomulyo, Cangkringan, Sleman -
69 KUA Kec. Ngemplak Jangkang, Widodomartani, Ngemplak, Sleman (0274) 4461099
70 KUA Kec. Depok Jl. Raya Tajem Km. 1, Maguwoharjo, Sleman (0274) 4462728
71 KUA Kec. Kalasan Ngajeg, Tirtomartani, Kalasan, Sleman (0274) 491079
72 KUA Kec. Prambanan Rejodani, Madurejo, Prambanan, Sleman (0274) 498024
73 KUA Kec. Berbah Tanjungtirto, Kalitirto, Berbah, Sleman (0274) 498022
74 KUA Kec. Seyegan Kregolan, Margomulyo, Seyegan, Sleman -
75 KUA Kec. Godean Ngabangan, Sidoluhur, Godean, Sleman (0274) 797248
76 KUA Kec. Gamping Patukan, Ambarketawang, Gamping, Sleman (0274) 797342
77 KUA Kec. Minggir Padon, Sendangrejo, Minggir, Sleman (0274) 7111241
78 KUA Kec. Moyudan Ngentak, Sumberagung, Moyudan, Sleman (0274) 6497056