Selamat Datang di blog KUA Kecamatan Moyudan Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta

8.12.12

Keharmonisan Suami Istri, Justru karena Mereka Berbeda

dakwatuna.com - Keluarga harmonis adalah dambaan semua orang. Siapapun yang menikah dan membentuk bahtera rumah tangga, berharap akan bisa memiliki keluarga yang harmonis. Namun banyak orang memahami makna harmonis secara berlebihan, sehingga seakan-akan tidak mentolerir adanya perbedaan, pertengkaran, dan konflik antara suami istri sama sekali. Keluarga harmonis dipahami sebagai keluarga yang tanpa perbedaan dan tanpa pertengkaran.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata harmonis memiliki makna pernyataan rasa, aksi, gagasan, dan minat; keselarasan; keserasian. Dalam konteks keluarga, kata harmonis dekat dengan makna keselarasan dan keserasian antara suami, istri dan seluruh anggota keluarga. Selaras dan serasi, menunjukkan suatu kesamaan tujuan dan cita-cita, walaupun kondisinya tidak selalu sama. Mungkin saja ada hal yang berbeda, namun perbedaan terbingkai dalam keselarasan dan keserasian.
Kapan kita mengatakan pakaian yang dikenakan seseorang sebagai serasi? Apakah karena warnanya sama? Seorang lelaki muda mengenakan sepatu, celana panjang, hem, dasi, jas dan topi dengan warna yang sama. Warna hitam semua, atau merah semua, atau putih semua, itukah serasi?
Bahkan Anda akan sulit menilai penampilan lelaki muda tersebut, apabila semua yang dikenakan memiliki warna yang sama. Justru penampilan dikatakan serasi apabila ada perbedaan, namun beda yang serasi. Misalnya ia mengenakan sepatu berwarna hitam, kaus kaki abu-abu, celana panjang hitam, kemeja warna putih, jas hitam, dasi merah tua, dan peci berwarna hitam. Ada banyak warna yang dikenakan, namun justru itu yang membentuk makna serasi.
Perbedaan Adalah Unsur Keserasian
Karena salah satu makna keharmonisan adalah keserasian, maka perbedaan justru menjadi salah satu unsur terpenting di dalamnya. Jangan berharap suami dan istri akan sama dalam semua hal, karena sejak dari awalnya memang tidak sama. Kesamaan mereka terjadi dalam hal yang prinsip, seperti kesamaan visi keluarga, kesamaan tujuan berkeluarga, kesamaan keyakinan hidup. Namun dalam berbagai sisi praktis, suami dan istri tidak perlu sama.
Dalam konferensi tahunan British Psychological Society 2012, di antara tema yang menjadi pembahasan adalah perbedaan fisiologis dan biologis laki-laki dan perempuan. Para ahli mengupas beberapa perbedaan dalam kemampuan kognitif, misalnya, laki-laki memiliki keterampilan kesadaran spasial lebih baik. Sedangkan perempuan memiliki daya ingat yang lebih kuat untuk benda-benda, serta kefasihan dalam lisan.
Profesor psikologi Diane Halpern dari Claremont McKenna College di California, Amerika Serikat berharap bisa memperbaiki pengetahuan tahun 1980-an, yang menyatakan bahwa otak laki-laki dan perempuan hampir identik. “Kita memang melakukan sosialisasi pada anak laki-laki dan perempuan dengan cara yang berbeda. Namun kontribusi biologi yang ada bukanlah nol,” katanya.
Beberapa perbedaan utama antara laki-laki dan perempuan yang diyakini adalah biologis dalam sifat alami. Termasuk, pria yang memiliki kemampuan kuat untuk memikirkan obyek dalam bentuk 3D yang membantu mereka menavigasi. Bahkan perbedaan ini telah terlihat dalam hasil studi yang melibatkan bayi berusia tiga bulan. Perempuan ‘lebih baik dalam mengingat letak benda-benda’ dan lebih bisa menavigasi melalui landmark dibanding sifat umum navigasi laki-laki yang berupa arah.
Ada pula pertanyaan menggelitik, “Mengapa 90% dari manajer perusahaan adalah laki-laki, dan 90% dari sekretaris yang ada di perusahaan adalah perempuan?” Ini dianggap sebagai perbedaan umum antara laki-laki dan perempuan dalam beberapa segi kemampuan yang spesifik. Justru dengan adanya berbagai perbedaan kemampuan tersebut, laki-laki dan perempuan bisa saling melengkapi, saling mengisi, saling memberi dan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya.
Tidak ada superioritas, bahwa lelaki lebih baik dan lebih unggul dari perempuan, atau perempuan lebih baik dan lebih unggul dari lelaki. Yang terjadi adalah, lelaki dan perempuan memiliki sisi-sisi kelebihan dan keunggulan, namun pada saat yang sama memiliki sisi kelemahan dan kekurangan. Untuk itulah, dalam sebuah keluarga mereka bisa saling menguatkan sisi kekurangan, dan bisa saling berbagi pada sisi kelebihan. Itulah makna serasi, sebuah perbedaan yang menimbulkan harmonis, saling memerlukan, saling mengisi dan melengkapi antara suami dan istri.
Saling Memahami
Yang menjadi tuntutan dalam kehidupan keluarga adalah saling memahami adanya hal yang berbeda tersebut. Suami dan istri harus membuka ruang penerimaan, pemahaman dan toleransi yang tinggi dalam jiwa mereka, akan hadirnya realitas perbedaan umum yang tidak bisa dihindarkan. Istri yang sangat suka ungkapan verbal, dan suami yang kurang suka ungkapan verbal. Istri yang banyak menggunakan potensi perasaan dalam memandang suatu kejadian, sementara suami lebih banyak menggunakan potensi akal.
Jika perbedaan tersebut dipahami dan diparesiasi secara tepat, tidak akan memunculkan konflik atau pertengkaran yang tidak perlu. Pertengkaran terjadi antara suami dan istri, karena ada banyak hal berbeda yang ada dalam diri mereka. Jika masing-masing tidak mampu memahami realitas perbedaan ini, yang terjadi adalah peruncingan konflik yang mengarah kepada disharmoni. Boleh saja sesekali waktu bertengkar dan ada konflik, namun harus segera diredam dan diatasi dengan saling pengertian dan saling memahami antara suami dan istri.
Rasakanlah keharmonisan, justru karena suami dan istri memiliki banyak perbedaan. Jika semua hal sama, lalu di mana letak kenikmatan hidup berkeluarga?

Menikah Itu untuk Selamanya

dakwatuna.com - Meningkatnya angka perceraian di Indonesia beberapa tahun terakhir merupakan fakta yang sangat memprihatinkan. Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 %. Tingkat perceraian sejak 2005 terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya. Pada tahun 2010 saja, terjadi 285.184 perceraian di seluruh Indonesia.
Jika memperhatikan hasil penelitian Mark Cammack, guru besar dari Southwestern School of Law-Los Angeles, USA, sesungguhnya ada fluktuasi angka perceraian di Indonesia. Berdasarkan penelitian Cammack, pada tahun 1950-an angka perceraian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tergolong yang paling tinggi di dunia.
Pada dekade itu, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya berakhir dengan perceraian. Tetapi pada tahun 1970-an hingga 1990-an, tingkat perceraian di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara menurun drastis, padahal di belahan dunia lainnya justru meningkat. Angka perceraian di Indonesia meningkat kembali secara signifikan sejak tahun 2001 hingga 2012 ini.
Kuliah Pernikahan
Untuk menduduki jabatan direktur di suatu perusahaan, seseorang harus menempuh masa pendidikan yang panjang. Dia harus memiliki ijazah tertentu, dengan kompetensi tertentu, dengan ujian tertentu. Setelah dinyatakan memenuhi persyaratan, barulah seseorang dilantik menjadi direktur perusahaan. Namun untuk menjadi direktur keluarga, ternyata tidak disertai dengan masa pendidikan yang memadai.
Sangat banyak hal yang harus dipelajari tentang pernikahan dan keluarga. Seandainya dibuat dalam satuan mata kuliah, sudah bisa menjadi satu fakultas tersendiri di sebuah universitas. Namanya Fakultas Pernikahan. Seluruh kurikulum berisi seluk beluk pernikahan, keluarga, perceraian, dan segala hal yang berhubungan dengannya. Rujukan bukunya sudah sangat banyak beredar di pasaran.
Semestinyalah semua orang yang akan menikah, telah melalui masa kuliah pernikahan, sehingga mengerti berbagai ilmu yang diperlukan untuk membentuk keluarga yang harmonis, sejahtera, produktif dan bahagia. Ketika menikah tanpa berbekal pengetahuan dan pemahaman yang mencukupi, sangat banyak ditemukan fenomena penyimpangan dalam keluarga dalam berbagai bentuknya. Ujungnya adalah kegagalan berumah tangga, perceraian.
Kuliah menjelang pernikahan bisa diselenggarakan oleh Kantor Urusan Agama, atau oleh BKKBN, atau oleh pihak masjid / gereja, atau oleh tokoh agama, atau oleh pihak LSM yang berkompeten. Tujuannya adalah memberikan pembekalan dasar-dasar dan keterampilan membina rumah tangga. Durasi waktu yang diperlukan sangat fleksibel, sesuai situasi dan kondisi. Namun esensi pembekalan ini yang lebih penting untuk diupayakan. Teknisnya juga bisa sangat variatif.
Menikah Itu Untuk Selamanya
Pernikahan tidak boleh diniatkan untuk jangka waktu tertentu. Saat melaksanakan akad nikah, tidak boleh terbesit ada pikiran untuk membatasi usia pernikahan dalam suatu rentang waktu. Pernikahan tidak boleh bermotivasi coba-coba, atau eksperimen, atau semacam itu.
“Sekarang yang penting nikah dulu, besok kalau tidak cocok ya cerai saja”.
“Sekarang dicoba dulu, kalau bahagia diteruskan, kalau tidak bahagia cerai saja”.
Jangan pernah berpikir untuk bercerai. Jangan ada kalimat “kalau nanti tidak cocok”. Nikah itu diniatkan seumur hidup, selamanya. Bukan suatu eksperimen atau percobaan. Oleh karena itu, dalam menempuh proses dari awalnya, harus disertai kelurusan dan kekuatan motivasi. Pernikahan adalah sebuah gerbang kehidupan, yang akan menentukan corak atau warna seseorang dalam waktu yang lama. Kebaikan atau keburukan seseorang, bermula dari kondisi keluarga.
Pernikahan adalah ibadah. Di dalamnya kita tengah menunaikan ketentuan-ketentuan agama yang sakral. Berhubungan suami istri saja, dinilai sebagai ibadah. Maka ada adab atau etika yang menyertai prosesi hubungan suami istri. Kenikmatan yang bisa didapatkan dari hubungan seksual adalah bagian dari rasa kesyukuran kepada kemurahan Tuhan. Karena ada dimensi ketuhanan yang sangat kuat dalam keluarga, tidak layak menjadikan pernikahan sebagai permainan atau coba-coba.
Menghadapi Keguncangan Rumah Tangga
Tidak ada keluarga yang tanpa masalah. Semua keluarga pasti memiliki sejumlah permasalahan. Namun keguncangan dalam rumah tangga sesungguhnya bisa diselesaikan. Berbagai persoalan, konflik, ketidakcocokan dan lain sebagainya, harus bisa dihadapi dengan sepenuh kesiapan jiwa. Suami dan istri harus berada dalam posisi yang sama setiap kali bertemu persoalan kerumahtanggaan.
“Ini masalah kamu, bukan masalahku”.
“Kamu yang bermasalah, bukan aku”.
Kalimat-kalimat tersebut sangat arogan dan akan semakin memperuncing permasalahan. Semestinya suami dan istri saling mendekat, dan bersama-sama mengupayakan jalan keluar dari setiap masalah yang datang. Tidak bersikap saling menyalahkan, tidak bersikap saling melempar kesalahan. Namun memahaminya sebagai persoalan bersama.
“Ini masalah kita berdua. Ayo kita selesaikan bersama”.
Kalimat itu lebih positif dan menyejukkan jiwa. Suami dan istri harus mampu melampaui setiap persoalan yang datang menghadang, karena memang tidak bisa dihindarkan. Yang bisa kita lakukan adalah menghadapinya dengan pikiran jernih, hati bening, jiwa terbuka, sehingga semua masalah mampu kita jadikan sarana menguatkan rasa cinta dalam keluarga.